“Ruth!”
Langkahku terhenti. Tak terlintas sedikitpun di kepalaku tentang siapa yang meneriaki namaku di
tengah jalan yang telah lengang dan sesepi kuburan. Angkringan di dekat kampus sudah
tutup. Tak terlihat lagi para tukang ojek yang biasanya mangkal beberapa meter
dari situ. Hanya 1-2 motor dan mobil yang lewat sejak kakiku melangkah keluar
gerbang kampus hingga tinggal setengah jalan lagi untuk sampai di jalan raya
besar. Aku yakin aku tak mengharapkan siapapun hadir di tengah kegelapan dan
kesunyian itu, tepat ketika aku menoleh dan melihat seorang cowok bermotor yang sudah sangat kukenal.
Ngapain
sih di sini, dan ngapain teriak-teriak, omelku dalam hati. Di malam pertengahan Desember yang dingin,
hatiku mengobarkan rasa benci. Saat itu aku belum memahaminya, bahwa dia tak
ingin mengejutkan atau terkesan mencegatku. Itulah mengapa kemudian dia dan
motornya bak meluncur ringan di atas lapisan es, ke arahku yang memanas dan terpaku.
“Biar gue anter,” tawarnya datar.
“Nggak usah.” tolakku, sedingin dan
sekokoh gunung es.
Tanpa ba-bi-bu aku langsung
meninggalkannya. Kudengar motornya mendekat, dan aku berusaha yakin bahwa ia
akan melewatiku. Tetapi sepertinya aku memang harus kecewa.
“Udah malem banget Ruth, nggak aman
buat lo jalan sendirian.”
“Gue ‘kan emang biasa pulang malam
sendiri.”
“Ya, tapi nggak pernah selarut ini
‘kan?”
Sama sekali tak ada nada menantang
dalam ucapannya melainkan ketulusan, dan karena itu aku mulai marah.
Kupercepat langkahku, tanpa menghiraukan
kubangan-kubangan kecil bekas hujan sesorean. Aku tak pernah suka melangkah di atas
trotoar yang tak terpelihara, terlebih dalam kasus ini. Mendingan sepatu basah, ketimbang kejeblos lubang, pikirku.
Dia menyusulku lagi.
“Ruth, kalo lo kenapa-napa – “
“Bukan urusan lo!” potongku ketus.
“Ya jelas urusan gue!”
Aku mendelik. Entah apakah lidahnya
terpeleset atau apa, dia langsung terdiam dan menghindari pandanganku.
Dia dan motornya terus mengiringiku
yang tak lagi menghiraukannya. Aku berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan
itu, mengapa dia di sini, mengapa ia tak menyerah saja, membiarkanku pergi
seperti dulu. Seperti ketika dibiarkannya hubungan kami kandas begitu saja.
Tanpa kata-kata, apalagi pertengkaran.
Saat itu aku berdiri di ambang pintu halaman
belakang rumah Meilin. Dia yang pertama melihatku langsung membeku. Meilin
begitu heran hingga ia kemudian mengikuti arah pandangannya dan terkejut
setengah mati. Sahabatku itu langsung menghambur ke arahku, memohon-mohon padaku
agar mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Tapi aku diam, terpaku,
menyorotinya yang tak bergeming sedikitpun. Kupandang terus kekasihku, sia-sia
berusaha menembus matanya, bertanya. Beginikah
caranya?
Kami hampir tiba di jalan raya besar.
“Ruth,”
Aku diam.
“Ruth!”
Dengan naifnya aku berharap langsung
akan ada mikrolet berhenti di sana, sehingga aku bisa segera cabut dari situasi
ini. Tetapi sesampainya di sana, aku harus berhenti di tepinya dan menunggu. Kecewa
lagi. Kecewa terus.
“Heh, bisa nggak sih lo nurunin gengsi
lo sedikit aja? Sekali aja?” katanya setelah menghentikan motornya di depanku
dan melepas helm-nya cepat.
“Apa?”
“Gue udah ngacir kosan Dito untuk
pinjem helm buat lo, buru-buru kemari nyusul lo...”
“Emang gue minta?”
Dia melengos, tersenyum sinis. “Emangnya
lo cukup rendah hati untuk minta bantuan orang lain?
Setipis dan setajam pedang.
Aku bisa bilang, itu karena aku tak
butuh bantuannya, atau aku bisa bilang, aku bisa melakukannya sendiri.
“Itu lo tau.” balasku dingin, sengaja
bersikap menjengkelkan. Kualihkan pandanganku ke arah seharusnya mikrolet itu
datang.
Dia seperti kehilangan kata-kata, tapi
tak beranjak juga. Beberapa detik berlalu, kuambil tindakan cepat.
“Ruth! Lo mau kemana?”
Kususuri trotoar jalan besar yang
makin lama makin gelap. Dia mengejarku.
Meskipun aku tak berpikir akan siap
bersua apalagi bicara padanya, aku tak pernah menghindarinya sejak kami putus.
Aku pun tak pernah menghindari Meilin. Aku justru heran sebab sahabatku itu tak
pernah mencoba bicara padaku di kampus, padahal setelah dulu aku memergoki
mereka, dia mengejarku sampai ke jalan. Tapi lama-kelamaan aku sadar, memang
lebih mudah seperti itu. Di sisi lain, aku memang jarang merasa kesepian.
Meskipun begitu, aku bersyukur tak
harus bertemu mantanku seharian tadi. Aku tak mau tau bagaimana ia bisa tau aku
masih berkeliaran di kampus jam 11 malam, tak mau memikirkan kemungkinan dia
yang juga baru selesai mengerjakan tugas kewirausahaan sialan yang deadline-nya
besok pagi. Aku tak mau memikirkan kemungkinan lain, bahwa ia sibuk berlatih bersama
klub teaternya hingga larut, mengingat dua minggu lagi kompetisi pementasan
teater tingkat Jabodetabek itu akan digelar – tak bisa kupastikan, sebab
sepanjang sore dan malam tadi yang kulewati hanya area sekitar perpustakaan dan
kantin. Karena jika aku memikirkannya, pikiranku akan sampai ke masa-masa
hubungan kami mulai garing. Ingin rasanya kutempeleng kepalaku sendiri.
“Kamu ‘kan bisa kabarin aku kalo nggak jadi
jemput, Dan.”
Sepele.
“Hp aku mati.”
Basi.
“Aku terus terang kecewa karena kamu
ingkar janji, tapi aku, yah, memang bisa pulang sendiri. Tapi ini ‘kan bukan
lagi tentang aku doang, atau kamu doang. Kita kan udah... satu. Di sini aku
kepikiran, apa kamu kenapa-napa. Apa motor kamu bannya pecah di jalan, apa
kecelakaan, apa kamu ada masalah darurat lain...”
Kesimpulannya, dia berubah menjadi
semakin tidak peka. Aku berusaha mengatur peranku, mengurangi kepedulian,
kalau-kalau itu telah membuatnya sedikit terkekang. Tapi itu semakin menjauhkan
kami. Kesepakatan awal pun terlupakan begitu saja, bahwa kami akan mengalah
bergantian, saling membaca sikon, memahami emosi satu sama lain. Pertengkaran-pertengkaran
pecah, sialnya menyangkut hal-hal sesepele dan semenjengkelkan sampah plastik
kresek hitam.
Kusesali kini, kami dengan sengaja
telah menghindari inti masalah hubungan kami.
“Lo mau ke mana?” teriaknya ketika
telah menyusulku lagi.
“Ke stasiun lah!”
“Mana ada kereta jam segini?”
Dia mungkin benar, tapi aku tak
peduli.
Kurasa dia mulai sadar usahanya akan
sia-sia, sebab ia dengan nekatnya turun dari motornya dan berlari mengejarku. Tanganku
terasa seperti tersetrum ketika ia menyentuh dan menariknya pelan.
“Lepasin, Jordan!”
Sudah berabad-abad berlalu sejak aku tak
pernah menyebut namanya lagi dan karenanya, aku sedikit ngeri.
“Ruth, lo naik ke motor gue sekarang, gue
bakal anterin lo sampe ke rumah.“
“Gue nggak –“
“Nggak, dengerin dulu!” Jordan agak
mendesak, “Lo duduk aja yang tenang. Gue janji, lo nggak akan harus ngomong
apa-apa kalo lo nggak mau.”
Dia mengatakannya dengan caranya – cara
yang ternyata sangat kurindukan. Penuh emosi, tapi tidak kasar. Begitu tulus,
meski tak lembut. Berusaha meyakinkan, tapi tidak memaksa.
Aku berbalik untuk meninggalkannya.
“Ruth,” Jordan mengikutiku. “Kenapa
sih kita nggak bisa biasa aja?”
Aku berhenti,
sontak berbalik lagi.
“Biasa aja?”
“Yah, gue tau
kita udah...”
Aku merasa mendengar angin bertiup di
antara kami, seolah mengisi kelanjutan dari kata-katanya. Aku menatapnya
lekat-lekat, menunggu, sedikit berharap, dan harus kecewa lagi.
“Tapi maksud gue, kenapa kita nggak
bisa selayaknya dua orang yang saling
kenal di kampus? Rumah kita searah, gue sekalian lewat. Nggak ada salahnya ‘kan
teman sekampus nganterin lo pulang di hampir tengah malem gini?”
“Dua orang teman sekampus?” aku
mendengus, tak abis pikir.
Aku bisa bertanya, apakah mungkin isi
kepalanya tertinggal di rumah kos Dito. Tapi lagi-lagi aku merasa mendengar
sesuatu, kali ini sebuah bisikan yang berkata : lepaskan.
“Lo nyuruh gue bersikap bersahabat
setelah semuanya?” serangku seraya membelalak.
Hal paling mustahil di dunia ini adalah
menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Jordan menahan napas.
“Lo sinting ya?” aku mengamuk, “Lo tuh SELINGKUH Dan! Bisa-bisanya lo
ngekhianatin gue, lo main belakang sama sahabat gue sendiri dan sekarang lo
berpikir semuanya bakal baik-baik aja!”
CRATT!!
Aku terperangah shock, mendecit
seperti tikus terlindas mobil. Jordan pun sedetik terpejam. Kupandangi blouse
biruku yang lengket dan basah oleh air kotor.
“WOY!” Jordan berbalik untuk mengumpat
ke arah perginya sepeda motor yang tanpa perhitungan mengebut begitu saja
melintasi kubangan besar di dekat trotoar ini. Pada momen lain, aku mungkin
agak malu dan takut setengah mati jika terlibat dengan seorang mahasiswa yang
berteriak tanpa kendali menyerukan satwa-satwa Ragunan hampir tengah malam seperti
ini.
Sekilas kuperhatikan sebagian wajahnya
juga tak luput dari cipratan air.
Aku tak tahu harus marah pada
pengendara motor sialan yang telah berlalu atau pada cowok tinggi di hadapanku,
yang kalau bukan karenanya aku tak akan harus berdiri di pinggir jalan dan
mengalami kesialan ini.
Jordan berbalik. “Lo punya tisu?”
Aku menggeleng-geleng menatapnya, tapi
bukan karena aku tak memilikinya. Tanpa menghiraukan kondisiku sama sekali, aku
nyelonong melewatinya.
“Ruth...” suaranya memohon.
“Gue sayang sama lo Ruth,”
Itu kata-katanya beratus malam yang
lalu. Di tengah festival angkatan kami, dia menarikku ke lantai tiga. Berdiri
mematung di tengah cahaya yang temaram, aku tak pernah tahu aku begitu menunggu
ungkapan itu. Yang kutahu, aku merasakan ada sesuatu yang begitu kuat antara
Jordan dan aku. Bagiku kami adalah 2 orang yang hanya menunggu momen
kebersamaan sebagai semacam penegasan. Penegasan bagi diri masing-masing bahwa
kami memang seharusnya terus bersama, tanpa pernah kupikir bagaimana bentuk
kebersamaan itu.
Hanya dialah seseorang yang
pendapatnya tentang diriku dan segala hal lainnya bisa begitu kupercaya, terasa
sebenar dan senyata matahari yang terbit dari timur ke barat. Suaranya seperti
suara dari dalam diriku sendiri, diriku yang jernih dan rasional, yang tak
ternodai emosi.
Kami sama.
Terlalu sama untuk menjadi pasangan
kekasih yang – katanya – mestinya saling melengkapi.
Kami bagaikan 2 kutub magnet yang tak
akan pernah bisa disatukan. Semakin didekatkan, semakin terasa bahwa keduanya
berlawanan. Mental. Kami bisa jadi sama-sama
selatan, atau sama-sama utara.
Aku sadar itu. Entah bagaimana dengan
dia. Mungkin pria menganggap hal-hal seperti itu tidak penting. Mereka hanya
tau mereka merasa nyaman dengan kami, dan ingin kebersamaan itu abadi. Mereka
yakin cinta buta itu wajar, bahwa hal-hal romantis tak memiliki teori.
Cinta itu buta. Benarkah apa yang dulu
kami rasakan itu benar-benar cinta?
Kuseka wajahku yang basah dangan asal.
Di dekat stasiun kereta, aku melihat
si kotak biru muda itu mangkal. Tanpa ragu sedikitpun aku melangkah masuk ke
dalamnya. Yang kupikirkan hanyalah rumah. Yang sedang kuusahakan untuk memenuhi
kepalaku hanyalah rumah minimalis, yang terletak di kompleks yang sama dengan
Jordan.
Tak lama kemudian mikrolet pun jalan, menyuguhkan
sebuah pemandangan yang makin lama makin kecil melalui kaca belakangnya: Jordan
yang berdiri pasrah memandangku yang kian menjauh.
Buru-buru kupalingkan wajahku ke arah
depan.
Kami tak pernah putus.
(bersambung...)