.

.

Tuesday, May 27, 2014

Ruthie (part 1)


“Ruth!”
Langkahku terhenti. Tak terlintas sedikitpun di kepalaku tentang siapa yang meneriaki namaku di tengah jalan yang telah lengang dan sesepi kuburan. Angkringan di dekat kampus sudah tutup. Tak terlihat lagi para tukang ojek yang biasanya mangkal beberapa meter dari situ. Hanya 1-2 motor dan mobil yang lewat sejak kakiku melangkah keluar gerbang kampus hingga tinggal setengah jalan lagi untuk sampai di jalan raya besar. Aku yakin aku tak mengharapkan siapapun hadir di tengah kegelapan dan kesunyian itu, tepat ketika aku menoleh dan melihat seorang cowok bermotor yang sudah sangat kukenal.
Ngapain sih di sini, dan ngapain teriak-teriak, omelku dalam hati. Di malam pertengahan Desember yang dingin, hatiku mengobarkan rasa benci. Saat itu aku belum memahaminya, bahwa dia tak ingin mengejutkan atau terkesan mencegatku. Itulah mengapa kemudian dia dan motornya bak meluncur ringan di atas lapisan es, ke arahku yang memanas dan terpaku.
“Biar gue anter,” tawarnya datar.
“Nggak usah.” tolakku, sedingin dan sekokoh gunung es.
Tanpa ba-bi-bu aku langsung meninggalkannya. Kudengar motornya mendekat, dan aku berusaha yakin bahwa ia akan melewatiku. Tetapi sepertinya aku memang harus kecewa.
“Udah malem banget Ruth, nggak aman buat lo jalan sendirian.”
“Gue ‘kan emang biasa pulang malam sendiri.”
“Ya, tapi nggak pernah selarut ini ‘kan?”
Sama sekali tak ada nada menantang dalam ucapannya melainkan ketulusan, dan karena itu aku mulai marah.
Kupercepat langkahku, tanpa menghiraukan kubangan-kubangan kecil bekas hujan sesorean. Aku tak pernah suka melangkah di atas trotoar yang tak terpelihara, terlebih dalam kasus ini. Mendingan sepatu basah, ketimbang kejeblos lubang, pikirku.
Dia menyusulku lagi.
“Ruth, kalo lo kenapa-napa – “
“Bukan urusan lo!” potongku ketus.
“Ya jelas urusan gue!”
Aku mendelik. Entah apakah lidahnya terpeleset atau apa, dia langsung terdiam dan menghindari pandanganku.
Dia dan motornya terus mengiringiku yang tak lagi menghiraukannya. Aku berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan itu, mengapa dia di sini, mengapa ia tak menyerah saja, membiarkanku pergi seperti dulu. Seperti ketika dibiarkannya hubungan kami kandas begitu saja.
Tanpa kata-kata, apalagi pertengkaran.
Saat itu aku berdiri di ambang pintu halaman belakang rumah Meilin. Dia yang pertama melihatku langsung membeku. Meilin begitu heran hingga ia kemudian mengikuti arah pandangannya dan terkejut setengah mati. Sahabatku itu langsung menghambur ke arahku, memohon-mohon padaku agar mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Tapi aku diam, terpaku, menyorotinya yang tak bergeming sedikitpun. Kupandang terus kekasihku, sia-sia berusaha menembus matanya, bertanya. Beginikah caranya?
Kami hampir tiba di jalan raya besar.
“Ruth,”                                      
Aku diam.
“Ruth!”
Dengan naifnya aku berharap langsung akan ada mikrolet berhenti di sana, sehingga aku bisa segera cabut dari situasi ini. Tetapi sesampainya di sana, aku harus berhenti di tepinya dan menunggu. Kecewa lagi. Kecewa terus.
“Heh, bisa nggak sih lo nurunin gengsi lo sedikit aja? Sekali aja?” katanya setelah menghentikan motornya di depanku dan melepas helm-nya cepat.
“Apa?”
“Gue udah ngacir kosan Dito untuk pinjem helm buat lo, buru-buru kemari nyusul lo...”
“Emang gue minta?”
Dia melengos, tersenyum sinis. “Emangnya lo cukup rendah hati untuk minta bantuan orang lain?
Setipis dan setajam pedang.
Aku bisa bilang, itu karena aku tak butuh bantuannya, atau aku bisa bilang, aku bisa melakukannya sendiri.
“Itu lo tau.” balasku dingin, sengaja bersikap menjengkelkan. Kualihkan pandanganku ke arah seharusnya mikrolet itu datang.
Dia seperti kehilangan kata-kata, tapi tak beranjak juga. Beberapa detik berlalu, kuambil tindakan cepat.
“Ruth! Lo mau kemana?”
Kususuri trotoar jalan besar yang makin lama makin gelap. Dia mengejarku.
Meskipun aku tak berpikir akan siap bersua apalagi bicara padanya, aku tak pernah menghindarinya sejak kami putus. Aku pun tak pernah menghindari Meilin. Aku justru heran sebab sahabatku itu tak pernah mencoba bicara padaku di kampus, padahal setelah dulu aku memergoki mereka, dia mengejarku sampai ke jalan. Tapi lama-kelamaan aku sadar, memang lebih mudah seperti itu. Di sisi lain, aku memang jarang merasa kesepian.
Meskipun begitu, aku bersyukur tak harus bertemu mantanku seharian tadi. Aku tak mau tau bagaimana ia bisa tau aku masih berkeliaran di kampus jam 11 malam, tak mau memikirkan kemungkinan dia yang juga baru selesai mengerjakan tugas kewirausahaan sialan yang deadline-nya besok pagi. Aku tak mau memikirkan kemungkinan lain, bahwa ia sibuk berlatih bersama klub teaternya hingga larut, mengingat dua minggu lagi kompetisi pementasan teater tingkat Jabodetabek itu akan digelar – tak bisa kupastikan, sebab sepanjang sore dan malam tadi yang kulewati hanya area sekitar perpustakaan dan kantin. Karena jika aku memikirkannya, pikiranku akan sampai ke masa-masa hubungan kami mulai garing. Ingin rasanya kutempeleng kepalaku sendiri.
 “Kamu ‘kan bisa kabarin aku kalo nggak jadi jemput, Dan.”
Sepele.
“Hp aku mati.”
Basi.
“Aku terus terang kecewa karena kamu ingkar janji, tapi aku, yah, memang bisa pulang sendiri. Tapi ini ‘kan bukan lagi tentang aku doang, atau kamu doang. Kita kan udah... satu. Di sini aku kepikiran, apa kamu kenapa-napa. Apa motor kamu bannya pecah di jalan, apa kecelakaan, apa kamu ada masalah darurat lain...”
Kesimpulannya, dia berubah menjadi semakin tidak peka. Aku berusaha mengatur peranku, mengurangi kepedulian, kalau-kalau itu telah membuatnya sedikit terkekang. Tapi itu semakin menjauhkan kami. Kesepakatan awal pun terlupakan begitu saja, bahwa kami akan mengalah bergantian, saling membaca sikon, memahami emosi satu sama lain. Pertengkaran-pertengkaran pecah, sialnya menyangkut hal-hal sesepele dan semenjengkelkan sampah plastik kresek hitam.
Kusesali kini, kami dengan sengaja telah menghindari inti masalah hubungan kami.
“Lo mau ke mana?” teriaknya ketika telah menyusulku lagi.
“Ke stasiun lah!”
“Mana ada kereta jam segini?”
Dia mungkin benar, tapi aku tak peduli.
Kurasa dia mulai sadar usahanya akan sia-sia, sebab ia dengan nekatnya turun dari motornya dan berlari mengejarku. Tanganku terasa seperti tersetrum ketika ia menyentuh dan menariknya pelan.
“Lepasin, Jordan!”
Sudah berabad-abad berlalu sejak aku tak pernah menyebut namanya lagi dan karenanya, aku sedikit ngeri.
 “Ruth, lo naik ke motor gue sekarang, gue bakal anterin lo sampe ke rumah.“
“Gue nggak –“
“Nggak, dengerin dulu!” Jordan agak mendesak, “Lo duduk aja yang tenang. Gue janji, lo nggak akan harus ngomong apa-apa kalo lo nggak mau.”
Dia mengatakannya dengan caranya – cara yang ternyata sangat kurindukan. Penuh emosi, tapi tidak kasar. Begitu tulus, meski tak lembut. Berusaha meyakinkan, tapi tidak memaksa.
Aku berbalik untuk meninggalkannya.
“Ruth,” Jordan mengikutiku. “Kenapa sih kita nggak bisa biasa aja?”
            Aku berhenti, sontak berbalik lagi.
            “Biasa aja?”
            “Yah, gue tau kita udah...”
Aku merasa mendengar angin bertiup di antara kami, seolah mengisi kelanjutan dari kata-katanya. Aku menatapnya lekat-lekat, menunggu, sedikit berharap, dan harus kecewa lagi.
“Tapi maksud gue, kenapa kita nggak bisa selayaknya  dua orang yang saling kenal di kampus? Rumah kita searah, gue sekalian lewat. Nggak ada salahnya ‘kan teman sekampus nganterin lo pulang di hampir tengah malem gini?”
“Dua orang teman sekampus?” aku mendengus, tak abis pikir.
Aku bisa bertanya, apakah mungkin isi kepalanya tertinggal di rumah kos Dito. Tapi lagi-lagi aku merasa mendengar sesuatu, kali ini sebuah bisikan yang berkata : lepaskan.
“Lo nyuruh gue bersikap bersahabat setelah semuanya?” serangku seraya membelalak.
Hal paling mustahil di dunia ini adalah menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Jordan menahan napas.
“Lo sinting ya?” aku mengamuk,  “Lo tuh SELINGKUH Dan! Bisa-bisanya lo ngekhianatin gue, lo main belakang sama sahabat gue sendiri dan sekarang lo berpikir semuanya bakal baik-baik aja!”
CRATT!!
Aku terperangah shock, mendecit seperti tikus terlindas mobil. Jordan pun sedetik terpejam. Kupandangi blouse biruku yang lengket dan basah oleh air kotor.
“WOY!” Jordan berbalik untuk mengumpat ke arah perginya sepeda motor yang tanpa perhitungan mengebut begitu saja melintasi kubangan besar di dekat trotoar ini. Pada momen lain, aku mungkin agak malu dan takut setengah mati jika terlibat dengan seorang mahasiswa yang berteriak tanpa kendali menyerukan satwa-satwa Ragunan hampir tengah malam seperti ini.
Sekilas kuperhatikan sebagian wajahnya juga tak luput dari cipratan air.
Aku tak tahu harus marah pada pengendara motor sialan yang telah berlalu atau pada cowok tinggi di hadapanku, yang kalau bukan karenanya aku tak akan harus berdiri di pinggir jalan dan mengalami kesialan ini.
Jordan berbalik. “Lo punya tisu?”
Aku menggeleng-geleng menatapnya, tapi bukan karena aku tak memilikinya. Tanpa menghiraukan kondisiku sama sekali, aku nyelonong melewatinya.
“Ruth...” suaranya memohon.
“Gue sayang sama lo Ruth,”
Itu kata-katanya beratus malam yang lalu. Di tengah festival angkatan kami, dia menarikku ke lantai tiga. Berdiri mematung di tengah cahaya yang temaram, aku tak pernah tahu aku begitu menunggu ungkapan itu. Yang kutahu, aku merasakan ada sesuatu yang begitu kuat antara Jordan dan aku. Bagiku kami adalah 2 orang yang hanya menunggu momen kebersamaan sebagai semacam penegasan. Penegasan bagi diri masing-masing bahwa kami memang seharusnya terus bersama, tanpa pernah kupikir bagaimana bentuk kebersamaan itu.
Hanya dialah seseorang yang pendapatnya tentang diriku dan segala hal lainnya bisa begitu kupercaya, terasa sebenar dan senyata matahari yang terbit dari timur ke barat. Suaranya seperti suara dari dalam diriku sendiri, diriku yang jernih dan rasional, yang tak ternodai emosi.
Kami sama.
Terlalu sama untuk menjadi pasangan kekasih yang – katanya – mestinya saling melengkapi.
Kami bagaikan 2 kutub magnet yang tak akan pernah bisa disatukan. Semakin didekatkan, semakin terasa bahwa keduanya berlawanan. Mental. Kami bisa jadi sama-sama selatan, atau sama-sama utara.
Aku sadar itu. Entah bagaimana dengan dia. Mungkin pria menganggap hal-hal seperti itu tidak penting. Mereka hanya tau mereka merasa nyaman dengan kami, dan ingin kebersamaan itu abadi. Mereka yakin cinta buta itu wajar, bahwa hal-hal romantis tak memiliki teori.
Cinta itu buta. Benarkah apa yang dulu kami rasakan itu benar-benar cinta?
Kuseka wajahku yang basah dangan asal.
Di dekat stasiun kereta, aku melihat si kotak biru muda itu mangkal. Tanpa ragu sedikitpun aku melangkah masuk ke dalamnya. Yang kupikirkan hanyalah rumah. Yang sedang kuusahakan untuk memenuhi kepalaku hanyalah rumah minimalis, yang terletak di kompleks yang sama dengan Jordan.
Tak lama kemudian mikrolet pun jalan, menyuguhkan sebuah pemandangan yang makin lama makin kecil melalui kaca belakangnya: Jordan yang berdiri pasrah memandangku yang kian menjauh.
Buru-buru kupalingkan wajahku ke arah depan.
Kami tak pernah putus.

(bersambung...)

No comments:

Post a Comment