.

.

Monday, May 12, 2014

Cerpen : Aku Lari Demi Sekeping Cinta



Aku labil seperti remaja puber – meloncat-loncat pikiranku setiap sekian detik sekali antara aku menerimanya, kemudian aku protes. Aku memakluminya, lalu aku marah dan ingin menghakiminya.
Aku dan Bima kehilangan kesempatan itu.
Aku dan Bima mestinya bercakap-cakap lebih banyak, tentang siapa diri kami. Tentang mimpi-mimpi. Tentang musik favorit, mungkin. Makanan apa yang paling sering kami inginkan saat jam makan siang kampus. Aku sama sekali tak tahu tentang itu. Bima pun pasti tak punya bayangan bahwa aku hampir selalu pesan kwetiau bukannya nasi.
Aku suka tosca, sewarna blouse yang kukenakan saat ini.
Aku tak pernah berhenti mengagumi Dosen Prosa kami, Pak Arjun, segila dan sekacau apapun dia di mata teman-teman mahasiswa lain. Bagiku ia hanya eksentrik.
Aku fanatik semua film Kate Winslet.
Minuman apa yang paling sering memabukkannya, mungkin. Apakah hanya bir, atau juga vodka? Aku bahkan awam tentang minuman. Aku hanya tau ia suka minum minuman keras saat hatinya galau, di salah satu sudut terpencil rumahnya yang luas. Ia akan harus menjauhkan dirinya terlebih dahulu dari smarthphone-nya, demi menghindari melakukan hal-hal aneh seperti mempermalukan diri di media sosial, mungkin. Atau seperti beberapa minggu yang lalu, mengirimkan kalimat singkat bernada misterius, putus asa, namun frontal yang ditujukan pada dunia ke seluruh kontak yang ia punya. Tak ada yang pernah tau setelahnya tentang sebab pesan itu bisa sampai di ponsel mereka. Kecuali aku. Bagai tragedi bom tanah air, ‘Si Bima jangan-jangan mau bunuh diri’ menguap begitu saja. Aku mulai linglung tentang definisi “teman” baginya.
Tapi selamanya kekonyolan itu akan terekam dalam memoriku.
Aku mulai menerimanya.
Meskipun kami kehilangan kesempatan untuk saling mengenal, demi menjadikan desiran-desiran tak terabaikan ini lebih masuk akal bukannya selamanya menjadi misteri yang menghantui. Kami akan selamanya polos, sama-sama tak tahu hal-hal yang normalnya diketahui sepasang sahabat. Bima mungkin akan lupa namaku, meskipun suatu hari nanti ia akan teringat rasa itu. Perasaannya ketika aku ada di dekatnya. Sesekali, kuharap. Ia tak akan ingat jelas wajahku, mungkin hanya sosokku yang semampai dengan rambut sewarna tanah basah. Meskipun matanya yang berkilau bak berlian akan membekas dan menghiasi imajinasiku yang terus meluas tak terbatas.
Ini sangat tidak adil. Aku marah lagi.
Tapi Bima memang harus pergi, jadi aku rasanya bisa menerimanya.
Tapi aku...
Selama apa kau bisa menahan sesuatu yang memaksamu memalingkan mata ke bangku-bangku tunggu hijau di stasiun kereta api yang mustahil memberi jawaban? Aku tak tahan lagi memendam satu pertanyaan besar yang merangkum kegelisahaanku akan itu, sebenci bila aku harus melontarkannya. Tapi dalam pergulatan manapun, harus ada yang kalah.
“Bim...”panggilanku mengambang. Aku mendongak untuk menghadapi scene berikutnya yang berusaha tak kubayangkan.
Bima menatapku, menunggu maksudku.
“Kenapa sih lo nggak bisa ngasih kita kesempatan...”
Detik ini semua hal di sekeliling kami terasa membeku. Tak ada hal lain yang hidup, apalagi sekacau dan segelisah kami. Mata terangnya menyiratkan ketertegunan yang tak mampu kucairkan. Aku malah menghujamnya dengan tatapan menunggu.
Bima baru benar-benar terbangun dan terpikir untuk menjawab ketika bunyi tanda kereta hendak berangkat yang biasanya memekakkan telingaku membuatnya teralih. Semua hal di sekeliling kami mendadak hidup lagi, bergerak, membuat kami menjadi hanya 2 orang teman sekampus yang sedang menggelar perpisahaan kecil di tengah stasiun kereta yang tak ramai tak sepi.
“S-Sas, gue-“                           
Bima tak menyelesaikan kata-katanya. Aku tak menangkap bahwa ia memanfaatkan kesempatan ini untuk menghindari pertanyaan yang bukan pertanyaan itu. Ada satu hal lain yang luar biasa mahal, terlebih bagi kami saat ini.
Waktu.           
Aku mengangguk. Bisa kulihat harapanku yang tertiup angin, sia-sia bak dedaunan kering yang melayang-layang tak tentu arah, makin jauh, dan hilang dari pandangan. Sampah. Tadinya kupikir hatiku kadung membeku untuk kecewa dan menangis, namun pelan tapi pasti kurasakan ia mulai basah.
Bima menarik pegangan kopernya, lalu menegakkannya. Dibetulkannya posisi topi hitamnya yang sebetulnya tanpa cela.
“I won’t ever forget you, Saskia.” ucapnya. Pelan dan mantap.
Aku yakin ia tengah menutupi kesedihannya. Dari tatapannya aku mengira detik ini Bima sedang melihat semua hal yang akan ditinggalkannya pada sosokku. Teman-teman di kampus yang segudang yang mengerubunginya – karena dialah pusat energi positif mereka dan kuyakin mereka semua tidak akan mempercayai penglihatan sendiri jika melihat dia hari ini. Mata kuliah yang membosankan, organisasi mahasiswa, masa-masa menjadi anak gaul Jakarta yang sangat tak penting tapi berkesan. Rumah. Keluarga inti. Dan mungkin, seorang calon sahabat sejati. Adakah ia merasa kehilangan seorang Saskia juga, diriku itu sendiri?
“Kualat aja kalo sampe lupa,” kataku bergurau, reflek kusunggingkan senyum kecil.
Bima sekilas tertawa, tapi sedetik kemudian matanya berkaca-kaca.
“Dag...” agak kikuk ia menjabat tanganku.
Begitu kuat hasratku untuk lebih dari sekedar menyambut tangannya. Aku ingin memeluknya, tapi merasa belum pantas. Perasaan kami dekat, tapi terbatas intensitas. Aku sangat ingin mengatakan lebih banyak, segala kata-kata penyemangat dan semua perasaanku. Namun aku bahkan tak merasa mengenal hatiku lagi...
“Dag... Have a nice life, Bim.”
Bima berbalik dan berjalan menjauh. Aku memandangi punggungnya, pada lambang Arsenal yang tercetak pada jaket itu hingga gambar itu perlahan mengecil.
Aku ingin tetap di tempatku, menyaksikan hingga gambar itu benar-benar menghilang dari pandanganku, saat-saat di mana Bima masuk ke keretanya sebelum – mungkin – berbalik sekali untuk melambai. 
Tapi aku tak punya nyali.
Aku tak cukup kuat menghadapi kehampaan yang pasti menggerogotiku dengan ganas setelahnya, yang memarah, seiring dengan kereta itu yang perlahan bergerak menjauhi peron stasiun ini dan menghilang sama sekali.
Aku tak cukup berani menyaksikan dengan gamblang momen kehilangan pertama dalam hidupku, seberani menghadapi bayangan Bima yang benar-benar berbalik dan menonton kepergianku dengan perih.
Maka beberapa saat sebelum Bima sampai di pintu masuk gerbong terdekat, aku membulatkan tekadku untuk berbalik. Dengan dada yang sesak aku berjalan terus tanpa menoleh. Kupercepat langkah ketika kulihat pintu keluar.
Di tengah sapuan sinar matahari yang terik, kuakui. Aku egois. Tapi aku tak yakin diriku lebih egois darinya yang memilih mengasingkan diri ke kota lain demi sebuah ide menemukan jati diri. Dirinya yang memilih meninggalkan SEMUANYA. Dan aku.
Kini kuyakin aku sebetulnya beribu-ribu kali lebih egois.
Dan pengecut...

***

Dalam imajinasi Saskia, aku sedang duduk tenang di kursiku, melihat keluar jendela di mana ada banyak warna hijau sejauh mata memandang. Sawah-sawah, pohon-pohon yang sejujurnya sederhana, begitu wajar dan mendamaikanku. Mereka ada, nyata. Sebuah ruang natural yang seolah tak tersentuh di tengah kompleksitas yang mengengelilinginya, di antara area penuh gedung-gedung tinggi. Dia bayangkan diriku akhirnya menyadari sesuatu tentang perasaannya, yang tadinya hanya bisa kuraba-raba saja, tanpa pernah sudi kutelusuri lebih jauh. Sebab sesuatu di antara kami terasa cukup.
Tidak.
Aku hanya merasa tidak layak meminta lebih.
Bukan.
Aku hanya takut. Sebab jika memberi ruang lebih pada kami untuk melampaui lebih banyak hal, memberi kesempatan lebih hingga kami bisa menegaskan sesuatu yang  melatarbelakangi keterkaitan ini, aku akan harus mengetahui sesuatu.
Aku lelah. Setiap tahun sepanjang masa remaja, keluargaku harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Segala hal indah yang tadinya dengan berat hati kutinggalkan mulai tak meninggalkan kesan di hati. Aku menolak membawa sekeping kenangan apapun dari manapun, karena selalu menyakitkan. 
Tapi keramahanku, kesenangan dan rasa peduliku pada apapun dan siapapun di tempatku berpijak selama ini bukannya tidak tulus, hanya itu seolah sudah memiliki tombol on-off sendiri.
Tapi menemukan dia...
Tanpa pernah kutahu, aku merindukan kebersamaan semacam itu, yang selama ini kami buat sesekali.
Aku yakin Saskia tak pernah yakin ingin tau isi hatiku. Ia hanya berharap diriku kini tersenyum dan mengenangnya dengan manis. 
Saskia tak tau, sejujurnya aku berada jauh dari ketenangan. Aku bahkan tak sedang memandang ke luar jendela. Ia tak tahu betapa keputusasaan sempat meliputiku demi mendapati ketiadaan dirinya di sana tadi, saat aku berharap melihat wajah dan senyuman terakhir yang akan sedikit menegarkan hatiku. Ia tentu tak menangkap kegelisahanku, rasa perih, rasa bersalah demi setitik perasaan terselamatkan berkat nyaringnya tanda kereta akan berangkat tadi.
Dia belum tahu, bahwa di tengah suasana gerbong yang ramai oleh mereka yang berbincang pada teman dan keluarga masing-masing, aku berpikir. Adakah satu dari cukup banyak orang yang duduk itu sebetulnya menyesali satu hal besar di tempat yang barusan mereka tinggalkan? 
Selama ia langkahkan kakinya cepat menuju rumah, tak terbayang pula di benaknya aku mulai berpikir bahwa ini bisa jadi awal dari pencarian jati diri itu sendiri. Ini sebuah penemuan awal. Menggapai hal asing, remang-remang, tapi justru menguatkan asa. Aku mulai yakin akan hasratku, dan dengan diawali malu-malu namun pantang mundur kubuka perkenalan dengan jiwaku yang sesungguhnya. 
Saskia kemudian akan tau, aku meraih koperku dengan cepat dan melangkah ke luar, turun di stasiun terdekat. Bagaikan menembus ruang dan waktu, aku sekejab kembali.
Tapi ia tak ‘kan pernah tahu itu, jika tak ia hentikan langkahnya dan sesuatu tak merasukinya, membuatnya berputar dan berlari kembali ke stasiun itu dan melihat.
Di sana, ia merasa begitu naif karena kembali demi hal yang tak ‘kan pernah kembali. Tapi ketika ia berbalik, Saskia menangkap mataku yang sama naifnya mengelilingi stasiun mencari-cari seseorang yang mungkin kembali.
Dari jauh, kami saling berpandangan. Aku bersyukur ia kembali. Aku senang melihat dirinya lagi, yang secantik bunga-bunga dengan senyumnya yang merekah.
Betapapun menggebunya kami mengungkapkan segalanya satu sama lain, kata-kataku tak 'kan pernah cukup menggambarkannya secara utuh. Terlebih suasana hatiku saat ini. Dia tak akan paham, betapa senangnya aku melihatnya berdiri di sana. Dia tak 'kan pernah membayangkan besarnya rasa syukurku demi menyaksikannya kembali demi diriku.
Kubiarkan sisanya tetap menjadi rahasia. 
Aku tetap pergi setelahnya, namun tak pernah meninggalkannya. Dialah seorang sahabat yang jiwanya juga akan menemaniku dalam perjalanan ini. Kau bisa bilang pencarian jati diri ini hanyalah sebuah pelarian dari satu kehidupan yang membosankan dan penuh kemunafikan, tapi setidaknya aku memilih pergi membawa sekeping kebahagiaan yang tak akan hanya jadi kenangan.
Aku lari sambil tersenyum.

No comments:

Post a Comment